Yap. Sepertinya
aku bukanlah orang yang dapat hidup dengan penuh keteraturan yang dibuat
sendiri. Em.. maksudnya gini, ketika aku sudah berencana untur mengerjakan
suatu kegiatan secara berlanjut dan teratur sepertinya susah. Jadi terkesan tak
konsekuen. Aku sendiri yang merencanakan 30 hari di bulan Ramadhan menulis
mengenai kegiatan yang aku lakukan, tapi aku sendiri yang melalaikannya. Ya,
mungkin pembuka di bacaan ini adalah mengenai diriku yang kurang telaten,
mengikuti apa kata hati untuk mengerjakan sesuatu, peragu ataupun yang lain.
Hari ini, Rabu
yang kutulis ceritanya di hari Kamis (16-17/07) banyak sekali cerita yang ingin
aku sampaikan. Yah. Hari ini Gilang, adikku mendapatkan pengumuman bahwa dia
tak lolos ujian tulis masuk jalur tulis. Dari pesan yang ia kirimkan, rupanya
kekecewaan yang dia dapatkan membuat ia lemas. Sebagai kakak apa yang dapat aku
sampaikan? Dia anaknya malas. Agak gemas juga dan aku juga kurang percaya
padanya. Anak yang keras kepala, dan sulit untuk bersosialisasi. Maaf disini
bukan maksudku menjelek-jelekan adikku. Aku sayang terhadapnya, itu sebabnya
aku mengatakan demikian.
Orangtuaku
sempat dibuat kecewa terhadapnya. Memang dalam urusan uang menebung dan
lain-lain, dia nomor satu. Tapi untuk sekarang, mungkin dia belum seberuntung
yang lain. Konyolnya dia memilih bimbel N**tron untuk dilalui ketimbang Gane***
Op***tion. Seriusan. Aku saja yang diceritain orangtua ketika dia masuk bimbel
tersebut karena temannya agak kecewa juga. Bimbel tersebut juga yang membuat
aku terperosok dalam kelas yang tidak intensif ketika SMP dahulu. Tapi gimana
lagi, itu yang dia pilih.
Mungkin kami
selaku kakak, mamah dan abih juga salah. Lebih bosan mengurus urusan pribadi
dibandingkan kembali kek keluarga. Kadang aku lelah harus seperti ini, mamah
yang curhat karena Gilang marah ke beliau, atau Gilang yang inilah itulah. PNS.
Itulah pekerjaan mamahku, dan jujur aku membenci pekerjaan itu. Hal itu yang
membuat Kami selaku anak-anaknya tidak mendapatkan keutuhan kasih sayang
seorang ibu terhadap anaknya. Hal itulah juga yang membatasi kegiatan kami
dengan ibu kami. Mamah jarang libur, sekalinya libur apa? Pekerjaanya hanya
tiduran saja, berleha-leha saja. AKU BENCI ITU!!. Walaupun memang, uang yang
didapatkan dapat membuat kita membeli ini, itu, mensejahteraakan kami dibanding
dengan abih. Abihku tamatan SMEA dan dari kecil memang didik dalam hidup yang
membentuk karakter beliau keras. Kasih sayang yang di berikan sangat berlimpah,
tapi sayang beliau cukup kolot untuk dapat hidup dimasa sekarang. Mengendarai
motor saja trauma. Gimana bisa maju? Susah diandalkan dalam mencerna kehidupan
sekarang selain Suara Merdeka yang selalu beliau beli di pagi hari dan berita
atau acara edukasi di televise yang memang selalu di tayangkan di rumah kami.
Hal inilah yang memuat mamah bekerja keras demi uang, tanpa menyadari ia
mengorbankan aku, Gilang, dan si bungsu Ayi.
Gilang yang aku
dapatkan susah dekat dengan orang lain. Senyum yang selalu ia kasih adalah
senyuman ketidak tulusan setengah-setengah gitu. Kurang tahu apakah begitu gaya
anak cowok kalau senyum atau memang dia kurang ekspresif dalam senyum.
Sebenarnya aku kasihan ke dia. Tadi dia bilang kalau dia gag seberuntung
temannya, hidup dalam tangisan dan tangisan di setiap hari ulang tahunnya
(kebetulan bulan lahirnya dia Juli di tanggal 3). Aku harus menjawab apa coba?
Dia sendiri juga gag mau belajar. Pengorbanan apa sih? les aja jarang. Gemes
khan? Trus gimana? Hidup itu bukan kaya mie cups yang 3 menit jadi dan langsung
dimakan. Saranku untuknya tadi adalah belajar dan belajar dan belajar. Belajar
disini bukan hanya mengenai buku, tapi hidup juga, saran orang lain juga,
belajar mengontrol emosi juga.
Aku yang jadi
kakak saja bingung. Pulang selepas ujian dari uin Syarif Hidayatullah dia pamer
habis dari Gramedia bukan hanya dia membeli buku SPMB, eh malah comic DConanpun
juga. Aku mau ngomong takut sifat tempramentalnya yang keluar dan akhirnya
bertengkar. Sulitlah dia. Dikasih saran, eh malah dibales pakai bahasa Tegal
yang aku rasa kurang pantas disebutkan oleh adik kepada kakaknya.
Yasudahlah,
kita membahas saja yang lain daripada ikutan jadi darah tinggi seperti dia.
Berhubung ini
cerita campur-campur yah jadi aku akan menceritakan mengenai mimpi. Banyak
sekali orang-orang yang aku rindukan masuk kedalam mimpiku. Sebut saja mamah,
abih, Elang, mas ketu dll. Tapi memang rasa rinduku ke mamah serta abih sangat
tak terbendung. Kangen mereka. Mungkin mimpiku itu sebagai pertemuan aku
dengannya. Sudah genap 2 bulan aku tidak pulang kerumah. Rasanya aku kurang
nyaman jika berlama-lama disana dan hanya Ayi yang bisa mengobati perasaan
mbaknya. Selain itu aku malas jika harus memimpikan Elang terus-terusan. Jadi
gini lho hubungannya, entah kenapa setiap kali aku berada dirumah setiap malam
harinya aku memimpikan Elang terus menerus. Khan gag mau. Yang aku mau,
melupakannya…emmm bukan. Tapi seperti menganggapnya tidak ada karena kita tidak
ada apa-apa alias biasa saja.
Dan sepertinya
ada masalah lain yang berhubungan dengan move on. Anisa masih memintaku untuk
pindah ke rumahnya dia. Sepertinya sepele, tapi menurutku tidak. Ada perasaan
takut untuk pindah baik itu karena lokasinya yang jauh dari peradaban dan harus
melewati semi hutan yang menakutkan, sedangkan keadaan kostanku yang sekarang
banyak teman dengan peradaban yang dekat dengan segalanya alias strartegis.
Bingung aku harus pindah di sana. Agak trauma dengan kawasan sana yang minim
dengan penerangan juga masih di daerah hutan juga keamanannya berhubung disana
modelnya perumahan dan amat sangat sepi dan sifat orang-orang perumahan yang
jarang kenal dengan tetangga kanan-kiri. Sedangkan disini, dekat dengan
perbelanjaan, sudah kenal hampir seluruh penghuni. Belum lagi harus mingdogaweni.
Ini bahasa Tegal yang maksudnya adalh pekerjakan yang harusnya dikerjakan
sekali, harus dikerjakan dua kali. Jadi misalkan aku harus pulang ke Tegal, aku
harus nginep dulu di kostan teman yang ada di jalan utama.
Meskipun
keuntungan yang aku dapatkan disana adalah aku akan lebih rajin berangkat ke
kampus (karena dekat) dan akan lebih rajin karena ya itu tadi. Jauh dari
peradaban. Ya sudah lah sekian, karena mataku sudah mulai mengantuk. Wassalam.