Namaku Putri
Adenia, anak ke-dua dari tiga bersaudara yang lahir 23 tahun lalu. Kakakku
bernama Rommi Ardeansyah tiga tahun lebih tua dariku yang biasa ku panggil
dengan sebutan Bang Rommi. Sedangkan adikku bernama Putri Arminania usianya 21
tahun jika sekarang ia masih hidup. Iya, dia meninggal karena menjatuhkan
dirinya 10 tahun yang lalu. Sebenarnya Mina tidak sengaja menjatuhkan dirinya
dari gedung dimana Papihku bekerja pada saat itu, aku rasa dia shock karena
melihat pertengkaran Papih dan Mamih serta Bang Rommi. Sebenarnya akupun berada
di depan adikku pada saat Papih menampar Mamih dan Bang Rommi dengan sangat
keras, hingga bekas merah tercetak jelas di pipi mereka. Mina yang melihat itu
langsung lari ketakutan ketika Papih mengejarnya. Sedangkan aku, bersembunyi di
salah satu lemari besar dalam keadaan kacau balau dan menangis tanpa suara yang
keluar dari mulutku.
Aku takut,
takut sekali. Hingga suara jeritan Papih terdengar dari ujung koridor kantor.
Ruangan yang Papih tempati berada pada lantai 4 di gedung yang berada di pusat
keramaian kota. Aku pun mendengar derap kaki Mamih dan Bang Rommi yang menuju
arah Papih. Diam-diam aku mengejar mereka dan langsung menyelinap ke salah satu
ruangan dengan jendela besar yang menghadap keluar. Mataku langsung menatap kea
rah gadis kecil yang berlumuran darah yang tergeletak. ‘Tidakk….’ Lirihku masih
tetap meneteskan mata. Aku melihat Mina telah terbujur kaku, dia terjatuh dan
meninggal di tempat.
Semenjak itu
pula, Papih dan Mamih tidak saling berkomunikasi dan berpisah. Bang Rommi yang
memang memiliki sikap kasar memilih untuk hidup sendiri. Mereka bertiga tidak
memaksaku untuk dengan siapa aku tinggal, tanpa banyak berpikir aku langsung
memilih untuk tinggal bersama Bang Rommi dan tinggal di salah satu rumah yang
orang tua kami miliki. Karena Papih dan Mamih memandang kami masih kecil, maka
kami dititipkan kepada salah satu abdi keluarga kami, Bude Wati namanya.
Heh…jujur aku tidak sudi menganggap Papih dan Mamih sebagai orang tua. Sama
sekali mereka tidak meributkan kami untuk tinggal bersamanya.
Aku tinggal
dengan sifat keras dari Bang Rommi. Walau memang terkesan keras, ia sangat
sayang padaku dan Mina. Walau Mina telah tiada, dia terlihat sangat kehilangan
adik kesayangannya itu. Mina memang anak yang manis, pintar dan lugu dan manja,
yang memang berbeda dengan ku.
Aku telah
menyelesaikan kuliahku di tahun kemerin, sekarang aku sedang mendalami kursus
bahasa Asiaku dan beberapa hobi serta bekerja di salah satu took yang menjual
merchandise dari hobi yang kusuka. Lumayan lah…selain tau perkembangan harga
yang kusuka, juga mengenal orang-orang yang memiliki hobi yang sama denganku.
Sedangkan Bang Rommi, dia masih nerkelut dengan hobi kebut-kebutan liarnya dan
mabuk-mabukan serta mempermainkan ceweknya itu. Sampai suatu peristiwa terjadi.
‘Byuuurrrr……’
Aku yang baru
saja pulang dari latihan basket langsung berlari ke kolam renanh yang berada di
belakang rumah.
“Bang! Lu
apa-apaan lagi sih siang-siang gini pake mau renang. Gaje banget hidup lu!”,
teriak sewot aku ke Bang Rommi tanpa melihat sekitar. Beberapa detik kemudian,
muncullah sesosok cewek yang aku taksir umurnya sekitar 17 atau 18 tahunan dari
kolam. Yang jelas sosok itu mengenakan pakaiaan seragam yang sepertinya masih
lengkap mengenakan sepatu.
“Bukan urusan
lu. Buruan gih naik, gue baru dapet mangsa baru. Mau gue mainin dulu dia.
Hehehehe. Lumayananan lah ya, masih SMA”, jawab Bang Rommi sambil menyeringai.
Dan parahnya
aku baru ngeh kalau itu mainannya Bang Rommi. “Parah lu Bang. Gag lihat tuh
bocah nangis! Mainan baru apa pedofil lu! Gile ya, lu masih aja ngewarisin
kasarnya Papih ke cewek…”. Aku yang marah-marah ke Bang Rommi langsung
meletakan tas begitu saja ke lantai dan mengambil potongan handuk dari
dalamnya. Karena tiba-tiba ada bayangan Mina di mataku.
“Siniin tangan
lu …” selorohku padanya, “…udah gag usah nangis lagi”. Sambil ku tutupi
handukku ketubuhnya. Karena basah, baju seragamnya menerawangkan jelas
isi-isinya.”Ikut aku ke kamarku yuk, jangan deket=deket om-om ini” sambil
kumelirik ke arah Bang Rommi yang dari tadi berdiri mematung di pinggir kolam.
Tanganku memegang handuk dari belakang seperti sedang merangkulnya, sedangkan
tangan anak ini di silagkan ke dadanya dan tubuhnya bergemetar. Padal suhu
siang ini cukup terik, tetapi tubuh ini seperti kedinginan.
“Heh, lesbi!
Asal lu tau aja yah. Gue udah bayar kedia untuk ngenikmatin fasilitasnya.
Urusin aja urusan lu dan cewek lu saja sana! Dasar lu! Bilang aja itu modusan
lu buat juga ngenikmatin dia khan? Atau karena lu kesepian. Jadi lu cari
perkara?” teriak marah Bang Romi kaya kesetanan.
Aku yang
melihat bude sedang memandang kami sambil ber-HHCan (Harap-harap Cemas)
langsung meyuruh bude untuk membawa anak ini ke kamarku dan memilih bajuku
untuk di gunakannya. Setelah itu kuberjalan kearah Bang Rommi.
‘Plak!!’ satu
tamparan mengenai pipi Bang Rommi.
“Jangan pernah
nyebut gue Lesbi! Gue bukan Lesbi! Salah gue gitu, dandan ala cowok pake rambut
potong cepak gini? Salah gue gitu, hobi gue main basket. Yang salah ya didikan
nyokap bokap lu, Bang! Dan kalu gue jadi cowok, gue gg bakal sekasar itu ke
cewek. Dan kenapa tadi gue nolongin dia? Gag lihat lu, tu bocah samapai nangis.
Lu bilang lu sayang Mina, dan yang tadi gue lihat ada bayangan Mina di tu
cewek. Dasar brengsek loh! Apa iya gue pernah berisik gara-gara party yang lu
buat? Ato gara-gara cewek-cewek yang lu bawa ke rumah buat seneng-senengnya lu,
heh? Tobat dong Bang! Bang, ini rumah besar, tapi Cuma aku dan abang yang
nempatin. Mina udah gag ada bang, siapa lagi yang bakal ngingetin abang untuk
kebaikan kalao bukan Iput. Dewasa dong, Bang!” marah-marah ku ke Bang Rommi.
Sebenarnya aku gag berani memarahinya, gag tau setiap kali mau marah selalu
saja menangis. Wajahku benar-benar panas, ingin aku mengeluarkan air mata.
Tetapi bukan menangis.
“Terserah lu
aja lah. Bude Wati, gue pergi dulu yah. Jangan buat jatah makan untuk gue!”
teriak Bang Rommi ngeloyor sambil mengambil kunci motor dan jaket kulitnya.
Jujur aku dan
Bang Rommi bias di bilang jarang sekali ributin hal-hal yang kayak begini. Itu
sebabnya dia selalu ‘kalah dan mengalah’ ketika sekalinya adu rebut denganku.
Kulangkahkan kaki ini kea rah tas cangklonganku yang masih tergeletak di lantai,
dan berarah memasuki kamar ku. Lelah sebenarnya setelah tadi bermain basket.
Yah, dari pada penat melanda, lebih baik menguras keringat.
Tinggi tubuhku
170 cm, beratku 65kg. Bila baru bertemu denganku mengira aku ini cowok.
Terlebih dengan rambut cepakku dan hobi basket atau juga menemani Bang Rommi
sekedar adu balapan roda dua (tapi bukan sepeda yah). Payudaraku berukuran
sedang. tapi ketika bermain basket, seringnya aku memakai bebad singlet untuk
menutupi bagian payudaraku. Kuputuskan untuk memotong Rambutku menjadi pendek
sekitar 4 tahun yang lalu, meskipun sebelum-belumnya rambutku tak lebih dari
pundak. Pakaian kesukaan-ku kalu sedang
santai adalah kaos oblong dengan celana tanggung yang longgar. Paling di tambah
jaket baseball atau jaket kulit kesayanganku jika ingin berpergian.
Teman dekatku
bernama Maharani Putri Aisya, lebih suka di panggil Rani. Berteman hamper 5
tahunan semenjak duduk di kuliah yang sama. Ini sebabnya Bang Robbi memangilku
dengan sebutan lesbi. Walau Rani tidak begitu memperdulikan olokan abangku satu
ini, tapi jujurnya aku risih dengan olokan itu. Bukankah dia juga tau aku masih
normal karena mendekati pelatih basket yang ada di basecamp-ku?
Berlanjut ke
cerita kali ini. Ketika aku membuka kenop pintu, aku sempat menutup kembali.
Kerena aku melihat gadis itu sedang membelakangiku dan berganti pakaian dengan
punggung mulus yang terlihat olehku. ‘Sial.. dasar jalang’ dengusku.
Aku kembali
membuka kenop kamarku kemabali dan dengan acuh tak acunya kuletakan tas
cangklongku di Body rack berbentuk pohon. Sempat kumelirik gadis yang
sepertinya sudah berganti pakaian itu. Ketika ku membalik mataku sempat menatap
heran.
“Heh. Gag pake
celana? Atau ukurannya tidak ada yang pas?” tanyaku padanya.
“G-Gag kok kak.
I-i-ini aku pakai celana. Hot pants yang aku bawa dari rumah. Cu-Cuman baju
kakak yang aku pakai kebesaran” jawabnya.
Dalam hati
konyolku mengambil kesimpulan, cewek cantikpun kalau sedang kedinginan diajak
berbicara jadi cacadnya-gagap berbicara-.
“i-iyaudah kamu makan dulu. Tadi bude masak
sup jagung. Untuk ngangetin tubuh kamu. Terus nanti aku antar kamu pulang”.
“Namaku Gisca
kak, aku panggil nama kakak Putri, Ardenia, Nia, atauuuu Deni?” Tanyanya sambil
menyodorkan tangannya ke arahku. Matanya sempat kupergoki melihat nama
lengkapku disisi dinding alamari yang kutempel note profilku.
Kujawab dengan
cuek sambil keluar kamar, “Terserah mau panggil apa. Salam kenal”.
Adalah 10an
menit aku membersihkan diri sambil berganti pakaian sambil. Tak lupa
kusemprotkan body misk rasa Homme kea rah tubuhku. Hehehe, semua kosmetikku
bernuansa Homme dan Men. Mulai dari shampoo, sabun, parfum, roll on keti,
sampai hairspray-nya kecuali face wash-nya sih.. soalnya wajahku gag se
sensitive.
Sesampai kamar,
aku melihat Gisca masih duduk di ujung ranjangku. Sambil memainkan
smartphone-nya. “Udah makan belum?” Tanya singkatku. “Belum, nunggu kak Deni.
Biar turunnya sekalian” Tanya dia sambil mesem centil. Senyum maksa yang ada di
mulut aku keluarkan. Aku dipanggil Deni. Udah ketebak otak cewek jalang kaya
dia. Padahal semua orang yang kenal aku memanggilku dengan panggilan sayang…..
“Non Ippuuuttt. Ini supnya dimakan. Nanti dingiiinnn”. Suruh Bude Wat di balik
pintu kamarku.
Aku yang kaget
langsung meekspresikan mimic yang membuat Gisca tertawa terbahak. “Hahahahaha.
Kak Iput? Hahahaha, nama kecil yang aneh. Coba mana tadi wajah lucunya?
Hahahahaha”. Dalam hati, aku bilang. ‘Najis banget sih ini jalang! Udah sok
deket, sok akrab! Emangnya aku anak kecil apa? Pake di suruh kaya gitu. Ngerti
gini biar diperkosa aje sekalian sama Bang Rommi’.
“Iya Bude,
bentarrrrrrrrrr…….”. Tentang Bude Wati. Kata eyang, Bude Wati dan ibunya dulu
ngabdi sama Eyang Kung dan Eyang Uti. Waktu kami masih bersatu dengan Mamih dan
Papih, suami Bude Wati ini adalah sopir keluarga. Sayang sekarang karena stroke
yang di alaminya, Pade yang disapa demikian lebih memilih tinggal di desanya
bersama anak dan cucunya. Oya anaknya bude ini pinter-pinter looo… yang
seumuran denganku Lanang namanya dengan titelnya Sarjana PWK, sekarang bekerja
di instasi pemerintahan. Di awal kuliah, memang di biayai oleh Mamih. Tapi
diam-diam iya mendaftar beasiswa prestasi yang lumayan untung bulanannya. Aku
kagum sama dia.
Diruang makan
Gisca memilih kursi yang berhadapan denganku. Masih dengan cuek dan memandang
makanan aku bilang padanya kalau setelah makan aku langsung mengantarnya pulang
tapi sebelumnya aku memintanya untuk menunggu karena aku mau beribadah. Seruan
di sore hari sudah memanggil.
“Yuh… Cus!”
perintahku sambil mengenakan jaket kulit dan memegang kunci motor. Gisca
mengekor mengikutiku menuju motor kesayanganku dan duduk di belakanku.
“Ini helm
jangan lupa di pakai. Ada polisi aku gag mau bayar resiko”.
“Iya kak
Deniiiii…”. Sambil pakek wajah sok imut. Cuih!
Seperjalan
rumahnya dia bercerita banyak mengenai dirinya, dan aku? Malas sekali
mendengarkannya. Dia juga sempat bilang kalau dia kira aku sosok cowok lah, termasuk
cool guy lah, orangnya cueklah. Dia juga kagum waktu aku memintanya waktu untuk
beribadah sebentar.
“Udah ini
kemana lagi? Muter-muter gag nyampe. Bensin habis lah gag mau”. Ucapku dengan
masih nada juteknya.
“Idih, kak Deni
jutek banget sihh? Ntar cakepnya ilang loh. Kalau ilang nanti ceweknya minta
putus loh? Hihihihi”. Sambil merangkul aku dari belakang.
Langsung
kuberhentikan motor dan kuiltimatum dia. “Heh. Sekali lagi bawel dan berisik.
Aku turunin di tengah jalan kamu. Gag usah pakai tampang sok imut, sok akrab,
dan sok kenal deh. Eneg aku ngelihatnya. Terus ya, gag usah pake
pegang-pegangan pinggul aku segala deh. Lihat kan aku bawa tas, pegangin aja
tuh tasnya. Paham!”
Sadis ya aku.
Abisnya aku agak sensi setelah bertengkar dengan Rommi. Takut gag dibagi uangan
bulanan pula. Hehehhe. Mana lagi ini jalang berisik dan bawelnya yang
naujubilah. Herannya, dia masih nampangin wajah centilnya.. Dasar genit. Gag
sekali dua kali aku nbganterin bocah yang kaya beginian. Sama aja. Itu sebabnya
aku bawa tas yang aku isi sama bola basket.
“Perempatan ini
belok kiri ya kak. Nanti ngelewatin jalan kampong. Rumahnya aku tunjukin kalau
udah deket.”
“Iya,,iya..”.
pikirku kayaknya gag lama lagi aku terbebas.
Setelah aku
melewati jalan ini, ya kurang lebih 500 meteran sampailah dirumahnya. Warnanya
abu-abu, dengan kalaman di tutupi oleh rimbunyya pepohonan. Mirip seperti rumah
Eyang. Setelah Gisca turun dan mengembalikan helmnya, datanglah ibu-ibu yang
terpogoh-pogoh berjalan kearah Gisca. Aku rasa itu ibunya.
Dari luar pagar
aku dengar perbincangan diantara mereka.
“Dari mana aja
tah Ndooo… Semaleman ibu tunggu, kamu gag pulang-pulang kan…” sambil
membolak-balikkan badan anaknya seperti diperiksa.
“sssttt..
Ibuuu, Gisca gag apa-apa nih ah! Kamar Gisca udah diberesin belum? Udah ah
Gisca capek. Mau tidur.” Ucapnya kasar ke ibunya sambil agak mendorong pundak ibunya.
“Ya Allah,
Gisca…Giscaa…” Tak beberapa memandang ke arahku, “Makasih ya, Mas. Tadi Gisca
udah mbayar ojegnya belum. Kalau belum berapa yah?”. #GUBRAK. Aku bukan tukang
ojeeeeggg L.
Mala mini
sepertinya ucapan Bang Rommi benar. Dia gag pulang kerumah. Mungkin dia sedang
balapan atau ajeb-ajeb di diskotek lagi. Yah seperti biasa. Makan hanya di
temani Bude yang memang aku suruh makan di meja makan menemaniku yang hanya
sendirian di meja makan. Se enggaknya aku merasa aku bukan anak yang di buang
orangtuanya karena perceraian yang menyedihkan.
“Non Ipuuutt,
ada temanya nungguin di luar”.
“Siapa Bude?”
balasku sambil malas-malasan membuka pintu.
“Eee… anu non.
Bude Lupa. Tapi bude inget kok itu wajahnya, tapi bude lupa non itu siapa”.
Kumat deh lupa’nya.
“Aaazzzzttt,
bude”. Sambil senyum kearahnya.
Sambil turun
tangga, aku mikir-mikir siapa yang mengganggu Jumat pagiku. Seingat aku aku ada
janji dengan Rani nanti setelah sholat jumat. Emmm…..maksudku setelah aku
sholat duhur di hari jumat ini. Adiknya Rani minta di ajarin beberapa meteri
yang kurang dia paham. Lamunanku terpecah ketika ada suara sahutan.
“Pagi kak
Deni…” sapanya dari ujung.
“Eh Gisca.
Ngapain? Gag Sekolah? Bang Rommi kayaknya gag ada dirumah tuh”, Telunjuku dan
mataku serempak menoleh ke kamar Bang Rommi.
“Emm… Gisca
cuma pengen main aja mumpung Gisca libur kak. Gag ada hubungannya sama Kak
Rommi kok, mau ketemu sama kakak ajah”.
“Oooo..”
singkat berirama dengan anggukan yang sepertinya perpaduan yang khas.
Ya kita ngobrol
panjang pendek, dipertemuannya kali ini aku gag sejutek kemarin. Namun juga gag
se ramah yang diharapkan Gisca pastinya. Sambil ngobrol, tangan kananku
menari-nari di keyped Nokiaku. Tujuanku adalah mengirim pesan kepada Rani untuk
main ke rumah sambil pura-pura meminjam buku nilikku. Oya tidak lupa kusuruh ia
berpakaian rapih. Hahahaha, kalau masalah acting kaya gini Rani memang jagonya.
Semalem aku smsan dengannya dan bercerita tentang Gisca, jadi aku yakin dia
sudah dapat bbahan yang akan di jadikan skenarionya. Hahahahaha.
Tidak lama kok.
Cukup 10 menit Rani muncul di muka pintu yang memang aku buka dari tadi.
Sedangkan aku berpura-pura membuat air minum untuk Gisca.
“Tuk…tukk.tukk..
Perimsi, Iputnya ada?” Tanya Rani kepada Gisca yang aku suruh tunggu.
“Ohh.. kak Deni
ya? Ada kok kak. Duduk sini dulu. Tadi katanya kebelakang bentar.” Jawab Gisca.
Tak lama
berselang aku membawa air minum untuk Gisca. “huiihhh… Udah cakep aja si Neng
Putri”, Hahahah, jijik sih tapi emang gitu skenarionya. Tatapanku ke Rani
laksana pangeran yang kedatangan putrinya yang di tunggu 100an tahun.
“Kapan datang?
Keluarnya bentaran ya. Ohya Rani, ini kenalin Gisca adeknya temannya Bang
Rommi.” Selorohku.
“Hey Gisca,
kenalin gue Rani. Maharani Putri. Senang berkenalan denganmu.” Ucap Rani sambil
tangan kanannya mengulurkan telapaknya ke Gisca. Sedangkan tangan kirinya
membetulkan letak kacamatanya.
“Hi, kak. Aku
Gisca. Senang berkenalan dengan kak Rani juga.”
“Yaudah kalian
ngobrol dulu aja ya.. aku ambil air dulu buat Rani.” Ucapku.
Dibalas dengan
tangan Rani yang membentuk lingkaran member tanda Ok, sambil matanya masih mengarah
ke Gisca.
Kancing Celana
armi yang aku kenakan gag sengaja menyangkut di sela-sela kursi. Dan insidenpun
terjadi.
“Bruk!”.
“Shit”.. ujarku langsung.
Rani yang
memang dekat dengan posisiku langsung berhambur kearahku. “kamu gag papa, say?”
tampang sok khawatirnya.
“iya, gag papa.
Yaudah bentar ya.” Jawabku sambil mengelus-elus lututku. “Dasar, makanya
ati-ati”, Rani mengingatkanku masih dengan tampang khawatirnya aku melirik
sekilas ke Gisca yang hanya terbengong menatap kami. Okke. Rencananya sampai sini
masih sukses, pikirku.
Aku memberikan
buku yang padahal tidak sama sekali Rani pinjam. Rani menerimanya dengan wajah
sok imutnya. Dimana-mana wanita sama ya? Namun ketika aku hendak duduk, Gisca
berdiri dan ijin pulan dahulu.
“Kak Deni, maaf
ya Gisca datangnya kurang tepat. Kak Deni dan Kak Rani mau keluar ya? Yasudah
hati-hati di jalan yah..” dengan tampang murung, seperti sudah tidak
bersemangat lagi.
“K-kok cepetan?
Emm.. nanti aku sama Rani gampang keluar nanti. Em.. Ee apa mau aku antar Gisca
sampai rumah?” ucapku tidak enak.
“Gag usah gag
papa kok kak. Nanti Gisca pakai Taxi atau ojeg di depan gangnya kakak aja”.
“EEmmm.. yaudah
aku antar sampai depan. Nanti biar aku cari ojegnya atau taxinya ya?
“Em… Iyaudah,
terserah kakak aja.”, “…mari kak Rani, Gisca duluan ya..”, salam Gisca
“Ati-ati di
jalan ya Giscaaaaa…..See Youuu”.
Aku
mengantarnya sampai di ujung gang depan rumahku. Kebetulan ada temanku, juga
untuk memastikan Gisca tidak balik lagi kerumahku. Hahahaha. Takutnya ketika
aku dan Rani asik membicarakannya muncul lagi sosok Gisca. Oh No!
Sesampai di
rumah, Bude bilang Rani ada di kamarku. Langsung deh aku berjalan ke kamar.
“Aahahahahahahahaha. Acting kita bagus sekali yah?” Heboh si Rani. “Gag tuh!”
balesku yang langsung di jiwit oleh Rani. Hahahaha. Dari diri aku yang dalem,
sebenarnya aku membenci saat-saat seperti ini. Meskipun Rani sudah punya
kekasih, dia sempat mengutarakannya perasaannya beberapa waktu lalu. Yang dia
pandanga bukanlah aku yang jadi cewek, melainkan aku pada saat menjadi cowok.